Mengenai Saya

Foto saya
maybe bisa dibilang gw seperti secangkir coffee, pahit yang menyenangkan [bagi yang menyukai tentunya] thats why i ♥ coffee .

Minggu, 12 Juni 2011

Kasus Ketenagakerjaan + Rekomensi

Banyak Pengerah TKI Kirim Tenaga di Bawah Umur

KASUS :

JAKARTA (Pos Kota) – Kasus penganiayaan Sumiati di Arab Saudi membongkar fakta bahwa tenaga kerja Indonesia (TKI) yang ditempatkan di luar negeri banyak yang tidak memenuhi ketentuan umur atau masih di bawah umur.

Sumiati ternyata lahir pada 12 Agustus 1992 atau kini baru berusia 18 tahun, sementara umur minimal untuk menjadi TKI yang diatur dalam UU No.39 tahun 2004 , adalah 21 tahun.

Pemalsuan identitas, khususnya umur TKI menurut Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) M. Jumhur Hidayat, melibatkan banyak pihak. Yaitu pemerintah daerah (lurah/kades/kadus), sponsor atau calo dan tak terkecuali orang tua TKI dan TKI bersangkutan.

“Ini semua karena masalah perut. Sulitnya mencari lapangan kerja di tanah air, menjadikan Arab Saudi dan negara penempatan TKI lainnya menjadi harapan. Biar bisa berangkat, berbagai cara dilakukan,” kata Jumhur.

Tetapi Jumhur menegaskan, yang paling berperan mempengaruhi calon TKI dan keluarganya adalah sponsor atau calo, karena mereka memiliki kepentingan sendiri.

Hal ini diamini Ketua Himpunan Pengusaha Jasa Tenaga Kerja (Himsataki) M. Yunus Yamani. ”Para calo berkepentingan karena mereka mendapatkan uang jasa dari perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (PPTKIS). Besarannya bisa mencapai Rp5 juta per TKI yang dibawanya.” Para calo inilah, kata Yunus, yang membuat orang tua atau calon TKI tergiur memberangkatkan anaknya bekerja di Arab Saudi. Apalagi banyak calo yang memberikan ’uang pinjaman’ bagi keluarga TKI berkisar Rp1 juta hingga Rp2 juta.

REKOMENDASI :

Untuk menghapuskan praktik pemalsuan identitas, menurut saya harus dilakukan pembenahan secara menyeluruh dari Kemenakertrans, Dinas Tenaga Kerja, Sudin Tenaga Kerja, pemerintah daerah terkait hingga aparat desa.

Pemerintah pusat harus lebih mengoptimalkan peran daerah hingga perangkat desanya, bahkan tokoh masyarakat setempat. Lakukan sosialisasi tentang batas umur secara kontinyu, mungkin sosialisasi terus-menerus melalui tokoh masyarakat, alim ulama dan perangkat desa, akan lebih bisa menyadarkan masyarakat, bahwa pemalsuan umur TKI bisa berdampak negatif pada TKI di negara penempatan.

Akan tetapi pemerintah juga harus memperluas lapangan kerja agar rakyat kita tidak berbondong-bondong keluar negeri dengan risiko besar


Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak

KASUS :

Sumutdaily.Com | Labuhanbatu - Pada tahun 2007 telah terbentuk Komite Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Di Kabupaten Labuhanbatu. Komite ini terbentuk melalui Keputusan Bupati Labuhanbatu Nomor 560/197/Naker/2007 yang ditanda tangani oleh Bupati HT Milwan kala itu pada tanggal 2 Nopember 2007. Yos Batubara, Direktur Lambaga Bina Masyarakat Indonesia (LBMI) mengungkapkan hal tersebut mengingat hampir setahun pemerintahan Tigor-Suhari memimpin Labuhabatu berjalan.

Diungkap Yos, komite yang keanggotannya meliputi unsur pemerintah dan masyarakat ini tak lain adalah untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di Kabupaten Labuhanbatu.

Bila ditilik, lanjutnya, komite ini bertugas untuk menyusun rencana aksi penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di Kabupaten Labuhanbatu, kemudian melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rencana aksi, dan menyampaikan dan mengkoordinasikan permasalahan-permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan rencana aksi tersebut kepada instansi yang berwenang guna penyelesaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku.

Seperti diketahui, sampai dengan saat ini jumlah pekerja anak di Labuhanbatu belum terdata secara pasti. Padahal, menurut Yos, berdasarkan pengamatan, pekerja anak tersebar baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Pekerja anak di daerah pedesaan lebih banyak melakukan pekerjaan bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan maupun kegiatan ekonomi di lingkungan keluarga. Sedangkan pekerja anak di daerah perkotaan dapat ditemukan di perusahaan, rumah tangga misalnya sebagai pembantu rumah tangga atau pekerja industri rumahan atau industri keluarga maupun di jalanan seperti penjual koran, penyemir sepatu atau pemulung. Beberapa diantara pekerjaan yang dilakukan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.

Pemerintahan Tigor-Suhari yang pada masa-masa kampanye menggaungkan kata “Perubahan Untuk Kemajuan”, sebaiknya dituntut agar lebih jeli untuk melihat persoalan ini, sebut Yos. Terlebih dalam Pokok-pokok Program yang disampaikannya pada saat kampanye perdana Pemilukada lalu Program Pembangunan Bidang Pendidikan adalah merupakan point yang pertama. Program Pembangunan Bidang Pendidikan tersebut, disebutkan oleh Tigor-Suhari antara lain Wajib Belajar Gratis 9 Tahun, Perbaikan Sarana dan Prasarana, Peningkatan Kualitas Tenaga Pendidik.

Bahkan juga, lanjut Yos, salah satu Misi dari Tigor-Suhari adalah memperbaiki dan menyempurnakan kelemahan dan kekurangan yang terjadi pada penyelenggaraan pemerintahan yang lalu.

“Dengan alasan ini maka pemerintahan Tigor-Suhari harus di tuntut agar lebih menginterpretasikan terutama dalam memperbaiki dan menyempurnakan kelemahan dan kekurangan yang terjadi pada penyelenggaraan pemerintahan yang lalu seperti yang tertuang dalam misinya,” ujar Yos. Dalam hal ini, harus memfungsikan Komite Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Di Kabupaten Labuhanbatu. Sebab pemerintahan yang lalu telah membentuk komite aksi ini.

Hal ini dirasa sangat penting. Sebab sampai dengan saat ini jumlah pekerja anak masih belum terdata secara pasti. Pekerja anak yang tersebar baik di daerah pedesaan maupun di perkotaan. Banyak alasan yang dikemukakan sebagai pembenaran terhadap keberadaan pekerja anak tersebut, tutur Yos. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, di sebutkan Yos, faktor kemiskinan dan kondisi ekonomi dianggap sebagai faktor utama yang mendorong keberadaan pekerja anak.

Mempekerjakan anak pada dasarnya merupakan sesuatu hal yang buruk di Indonesia, namun demikian keadaan seperti itu sudah ada sejak Indonesia masih dijajah oleh Pemerintah Belanda. Yos mengharapkan dengan difungsikannya komite ini, maka bersamaan dengan itu harus segera disusul dengan rencana aksinya dengan harapan agar praktek mempekerjakan anak pada berbagai jenis pekerjaan-pekerjaan terburuk, dapat segera terhapuskan. Sebab mempekerjakan anak adalah merendahkan harkat dan martabat manusia khususnya anak-anak, serta merampas hak anak untuk tumbuh dan berkembang secara wajar.

“Semoga pemerintahan hasil pemilukada Juni 2010 ini lebih baik dari pemerintahan sebelumnya yaitu pemerintahan HT.Milwan-Sudarwanto yang telah membentuk Komite Aksi Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak Di Kabupaten Labuhanbatu”tukas Yos. (Hasta/tim | Foto - Dok)

REKOMENDASI :

Komitmen yang dibuat oleh Pemerintah telah menghasilkan dampak ganda dengan memasukkan masalah pekerja anak ke dalam program-program pemerintah yang ada sekarang ini. Komponen pekerja anak diintegrasikan ke dalam program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah, yang bertujuan mendukung kamu miskin pedesaan melalui pembiayaan ekonomi mikro dan aktivitas yang menghasikan pendapatan.

Departemen Dalam Negeri bersama dengan Direktorat Jenderal Pengembangan Pedesaan telahmelaksanakan program untuk mendukung anakanak dari keluarga sasaran untuk melanjutkan pendidikan dengan cara memberikan beasiswa. Masyarakat dan keluarga didorong oleh penyuluh yang dilatih khusus, untuk mengirim anak-anak mereka ke sekolah dan bukannya ke tempat kerja.

Model seperti ini dianggap berhasil dan dijiplak untuk digunakan di provinsi lain. Pekerja anak juga dimasukkan ke dalam program kerja Departemen Pendidikan Nasional,Di pengaturan kembali program pendidikan non-formal yang dilakukan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan anak-anak yang bekerja dengan cara mengadaptasi metodologi pengajaran dan meningkatkan akses anak-anak yang bekerja terhadap program ini. Kegiatan semacam ini sudah lama berusaha mempengaruhi Direktorat Pendidikan Masyarakat untuk mengakui adanya masalah pekerja anak dan memikirkan kembali peran pendidikan nonformal dalam mendukung upaya-upaya penghapusan pekerja anak. Dengan mempertimbangkan jumlah dan potensi dalam pencapaian pendidikan pekerja anak di rumah tangga, kelompok anak-anak ini dijadikan sasaran strategis untuk pencapaian 100% pendidikan wajib sembilan tahun di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar